Kantor Berita Internasional Ahlulbait -ABNA- Ketika media dunia — khususnya Barat — memusatkan perhatian pada konferensi Sharm el-Sheikh, angka resmi korban genosida Israel di Gaza telah mencapai 67.869 orang syahid dan tewas. Namun para pemimpin Barat, terutama Presiden Amerika Serikat, berbicara tentang “akhir perang” dan memainkan peran sebagai penyelamat. Padahal, merekalah yang terlibat langsung dalam menciptakan tragedi ini.
Kenyataan di lapangan menunjukkan hal sebaliknya: gencatan senjata dan pembebasan para tahanan bukan hasil diplomasi Barat, melainkan buah keteguhan rakyat Gaza — rakyat yang selama lebih dari dua tahun bertahan di bawah blokade, bom, dan kelaparan, hingga mampu memaksakan gencatan senjata dan merayakan kebebasan para tawanan mereka sendiri.
Perdamaian untuk Melarikan Diri dari Keadilan
Konferensi Sharm el-Sheikh digelar dengan kehadiran tokoh-tokoh seperti Donald Trump dan Emmanuel Macron — orang-orang yang menjadi mitra utama dalam genosida Gaza. Mereka mengklaim pertemuan itu sebagai simbol “awal stabilitas”, padahal bahasa diplomatik mereka hanyalah tirai untuk menutupi keterlibatan mereka dalam kehancuran Gaza.
Gaza: Kota yang Tak Berdaya dan Hancur
Dalam kenyataan pahit, Gaza telah berubah menjadi kota tanpa kehidupan. Laporan independen menyebut sedikitnya 10 persen penduduknya terbunuh atau terluka, dan sebagian besar kehilangan tempat tinggal. Banyak jenazah masih tertimbun reruntuhan — jumlah korban sesungguhnya jauh melampaui angka resmi. Kini, di Gaza hanya tersisa abu dan tenda-tenda pengungsian.
Dalam foto-foto terbaru, matahari bersinar tanpa bayangan, karena tak ada lagi gedung yang berdiri untuk menahan cahayanya. Rumah-rumah telah diratakan dengan tanah, keluarga-keluarga berlindung di tanah kosong, dan satu-satunya perbedaan dari bulan-bulan sebelumnya hanyalah tak terdengarnya lagi suara bom. Namun di balik keheningan itu, bau kehancuran dan pembakaran masih menggantung di udara.
Luka yang Lebih Dalam dari Kematian
Di Gaza, bukan hanya infrastruktur yang hancur — masyarakatnya pun runtuh. Generasi demi generasi keluarga musnah; ribuan anak menjadi yatim dan terlantar. Jiwa kolektif rakyat Gaza telah retak. Mereka mungkin selamat dari kematian, tapi tidak dari kehidupan yang menunggu di depan. Luka sosial itu tidak terlihat ujung penyembuhannya.
Dunia Terbalik dan Pahlawan Palsu
Dalam panggung politik global, dunia kini berdiri terbalik. Negara-negara yang memberi senjata kepada Israel dan membungkam suara protes rakyatnya, kini muncul sebagai “penengah perdamaian.” Trump bahkan dipuji atas “mediasi suksesnya” — padahal dialah yang dengan kebijakannya membuka jalan menuju bencana ini. Inilah pembalikan kebenaran yang tragis: para pembunuh kini mengenakan pakaian penyelamat.
Perdamaian Sebagai Bentuk Pelupaan
Konferensi Sharm el-Sheikh bukan simbol perdamaian, melainkan simbol pelupaan. Sebuah “perdamaian” yang dibangun tanpa keadilan, tanpa penyelidikan atas kejahatan, dan tanpa akuntabilitas — tidak lain hanyalah kelanjutan perang dalam bahasa lain. Pertemuan itu menjadi panggung untuk menghapus ingatan dunia atas tragedi yang disaksikan jutaan orang. Tanpa keadilan, perdamaian hanyalah dusta.
Your Comment